Laman

Jumat, 17 Februari 2012

"Surabaya Kota Pahlawan"

"Surabaya Kota Pahlawan"
atau dalam bahasa Belanda di sebut

"SURABAYA STAD HELD"


Dalam sebuah diskusi pada awal 90-an, salah satu sesepuh Surabaya, Alm. Roeslan Abdul Gani mengaku bahwa dirinyalah orang pertama yang mendapat kabar itu. Kabar tentang kematian Brigadir Jenderal AWS Mallaby akibat mobil yang ditumpanginya dilempar granat oleh
pemuda Surabaya di Jembatan Merah. Sampai kini, cerita heroik itu masih menjadi legenda.

Desing peluru masih terdengar saat Roeslan, yang kala itu sedang bersembunyi di tebing Kali Mas mendapatkan kabar itu. Untuk melindungi pelaku-yang sampai saat ini tidak diketahui identitasnya-Roeslan mengintruksikan kepada rekan pejuang Surabaya yang lain untuk merahasiakan kejadian itu. 

"Ojok ngomong sopo-sopo (jangan bilang siapa-siapa-red)," kata Roeslan mengulangi kalimat yang diucapkannya pada medio November 1945 lalu.Kisah perjuangan Arek-Arek Suroboyo (nama lain Orang Surabaya-red) pada 10 November 1945 memang tidak bisa dilepaskan dari kisah Jembatan Merah.


Jembatan yang dibangun atas perjanjian antara Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743 itu mempunyai nilai sejarah dan politik yang tak ternilai. Di tempat itu, salah seorang pimpinan angkatan bersenjata pasukan Inggris, Brigadir Mallaby tewas terbunuh pada tahun 1945 dalam perang mempertahankan kemerdekaan.

"Heroisme gaya Suroboyo"

Perlawanan yang dilakukan Arek Suroboyo memang luar biasa. Beberapa hari sebelum 10 November, tepatnya pada 2 November, terjadi penyerangan yang luar biasa kepada pasukan Jepang yang saat itu berkuasa. Anggota Kempeitai (pasukan khusus Jepang) dibunuh, pangkalan militer dan barak Jepang diserang dan diambili senjata dan amunisinya. Republiken Surabaya benar-benar marah. Apalagi ada kabar, pasukan NICA Belanda akan kembali masuk ke Surabaya.

Menurut buku ‘Seks dan Kekerasan pada Masa Kolonial’, perlawanan di Surabaya itu membuat pasukan Jepang di Madura panik. Sebuah gudang senjata, dan kantor-kantor penting Jepang pun diledakkan. Seiring dengan itu, kekerasan di Surabaya terus terjadi. Penculikan dan pembunuhan pada warga Jepang dan Eropa terus berlangsung di Surabaya. Ketika Inggris masuk pada 25 Oktober 1945, kondisi sedikit mereda. 

Pasukan yang dipimpin Jend. Mallaby itu mengaku datang sendirian, tanpa pasukan NICA. Tapi kebohongan terkuak. Nica ikut di antara mereka. Kemarahan kembali meledak.

Apalagi, tentara Inggris membebaskan tahanan yang juga musuh republik dari Penjara Kalisosok, Surabaya. Sekitar 6000 tentara Inggris yang menyebar di seluruh Surabaya harus berhadapan dengan 100 ribu Arek Suroboyo. Darah tertumpah. Tentara Inggris dengan bersenjatakan lengkap tak mampu melawan senjata rampasan, bambu runcing dan batu-batu yang dilemparkan pejuang Republik. Mallaby tewas dalam serangan di Jembatan Merah. Saat Inggris terdesak itulah, Soekarno-Hatta dan Amir Syarifuddin dating ke Surabaya pada 29 Oktober untuk menenangkan rakyat Surabaya. 

Salah satu tuntutan Inggris kepada Soekarno-Hatta adalah penyerahan pembunuh Jend. Mallaby. Jelas hal itu tidak bisa dipenuhi. Ketika Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta, sebuah ultimatum dikeluarkan Jend Mansergh, pimpinan Inggris untuk wilayah Jawa Timur. Pada 10 November 1945, seluruh rakyat harus meletakkan senjata dan menyerah pada Inggris. Bila tidak, maka Inggris akan membumihanguskan Surabaya. 


Mendidih

Surabaya ‘mendidih’. Gubernur Suryo, pimpinan perjuangan meminta pendapat Soekarno atas hal itu. Dengan tegas Soekarno memangatakan bahwa keputusan sepenuhnya diserahkan pada rakyat Surabaya. Termasuk bila akan melawan. Pada 9 November 1945, melalui corong RRI Gubernur Suryo menegaskan sikapnya. 

“Rakyat Surabaya menolak ultimatum Jend Mansergh. Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Peliharalah persatuan dan selamat berjuang!” katanya. Pada 10 November 1945, Surabaya kembali membara.

Peter A. Rohi, wartawan senior Surabaya menceritakan, suasana ketika itu memang heroik. Penduduk yang secara fisik bisa mengangkat bamboo runcing, melempar batu, menembakkan senjata rampasan, tak sabar menyerang pasukan Inggris. Penduduk di kampung Pandean, Peneleh dan Plampitan misalnya, langsung berhamburan sejak seruan perlawanan itu digaungkan. Apalagi ketika mereka mendengarkan pidato Bung Tomo yang menggelora melalui corong RRI. 

Dalam pidato itu Bung Tomo menyerukan agar rakyat Surabaya tidak menggubris ultimatum Inggris. "Tak heran bila pada peristiwa 10 November 1945 banyak pemuda dari kampung-kampung itu ikut terbunuh," kata Peter. Jalanan di sekitar Peneleh, Plampitan dan Pandean penuh dengan mayat-mayat bergelimpangan. 

Di medio yang sama, pertempuran juga terjadi di Bandung, Solo, Semarang, Ambarawa dan  Magelang. Begitu juga di Bali dan Nusa Tenggara. Sebuah medio yang penuh gelora perlawanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar