atau dalam bahasa Belanda di sebut
"SURABAYA STAD HELD"
Dalam sebuah diskusi pada awal 90-an, salah satu
sesepuh Surabaya, Alm. Roeslan Abdul Gani mengaku bahwa dirinyalah orang
pertama yang mendapat kabar itu. Kabar tentang kematian Brigadir
Jenderal AWS Mallaby akibat mobil yang ditumpanginya dilempar granat
oleh
pemuda Surabaya di Jembatan Merah. Sampai kini, cerita heroik itu masih menjadi legenda.
pemuda Surabaya di Jembatan Merah. Sampai kini, cerita heroik itu masih menjadi legenda.
Desing peluru masih terdengar saat Roeslan,
yang kala itu sedang bersembunyi di tebing Kali Mas mendapatkan kabar
itu. Untuk melindungi pelaku-yang sampai saat ini tidak diketahui
identitasnya-Roeslan mengintruksikan kepada rekan pejuang Surabaya yang
lain untuk merahasiakan kejadian itu.
"Ojok ngomong sopo-sopo
(jangan bilang siapa-siapa-red)," kata Roeslan mengulangi kalimat yang
diucapkannya pada medio November 1945 lalu.Kisah perjuangan Arek-Arek
Suroboyo (nama lain Orang Surabaya-red) pada 10 November 1945 memang
tidak bisa dilepaskan dari kisah Jembatan Merah.
Jembatan yang dibangun atas perjanjian antara
Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743 itu
mempunyai nilai sejarah dan politik yang tak ternilai. Di tempat itu,
salah seorang pimpinan angkatan bersenjata pasukan Inggris, Brigadir
Mallaby tewas terbunuh pada tahun 1945 dalam perang mempertahankan
kemerdekaan.
"Heroisme gaya Suroboyo"
Perlawanan yang dilakukan Arek Suroboyo
memang luar biasa. Beberapa hari sebelum 10 November, tepatnya pada 2
November, terjadi penyerangan yang luar biasa kepada pasukan Jepang yang
saat itu berkuasa. Anggota Kempeitai (pasukan khusus Jepang) dibunuh,
pangkalan militer dan barak Jepang diserang dan diambili senjata dan
amunisinya. Republiken Surabaya benar-benar marah. Apalagi ada kabar,
pasukan NICA Belanda akan kembali masuk ke Surabaya.
Menurut buku ‘Seks dan Kekerasan pada Masa
Kolonial’, perlawanan di Surabaya itu membuat pasukan Jepang di Madura
panik. Sebuah gudang senjata, dan kantor-kantor penting Jepang pun
diledakkan. Seiring dengan itu, kekerasan di Surabaya terus terjadi.
Penculikan dan pembunuhan pada warga Jepang dan Eropa terus berlangsung
di Surabaya. Ketika Inggris masuk pada 25 Oktober 1945, kondisi sedikit
mereda.
Pasukan yang dipimpin Jend. Mallaby itu
mengaku datang sendirian, tanpa pasukan NICA. Tapi kebohongan terkuak.
Nica ikut di antara mereka. Kemarahan kembali meledak.
Apalagi, tentara Inggris membebaskan
tahanan yang juga musuh republik dari Penjara Kalisosok, Surabaya.
Sekitar 6000 tentara Inggris yang menyebar di seluruh Surabaya harus
berhadapan dengan 100 ribu Arek Suroboyo. Darah tertumpah. Tentara
Inggris dengan bersenjatakan lengkap tak mampu melawan senjata rampasan,
bambu runcing dan batu-batu yang dilemparkan pejuang Republik. Mallaby
tewas dalam serangan di Jembatan Merah. Saat Inggris terdesak itulah,
Soekarno-Hatta dan Amir Syarifuddin dating ke Surabaya pada 29 Oktober
untuk menenangkan rakyat Surabaya.
Salah satu tuntutan Inggris kepada
Soekarno-Hatta adalah penyerahan pembunuh Jend. Mallaby. Jelas hal itu
tidak bisa dipenuhi. Ketika Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta, sebuah
ultimatum dikeluarkan Jend Mansergh, pimpinan Inggris untuk wilayah Jawa
Timur. Pada 10 November 1945, seluruh rakyat harus meletakkan senjata
dan menyerah pada Inggris. Bila tidak, maka Inggris akan
membumihanguskan Surabaya.
Mendidih
Surabaya ‘mendidih’. Gubernur Suryo,
pimpinan perjuangan meminta pendapat Soekarno atas hal itu. Dengan tegas
Soekarno memangatakan bahwa keputusan sepenuhnya diserahkan pada rakyat
Surabaya. Termasuk bila akan melawan. Pada 9 November 1945, melalui
corong RRI Gubernur Suryo menegaskan sikapnya.
“Rakyat Surabaya menolak ultimatum Jend
Mansergh. Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Peliharalah
persatuan dan selamat berjuang!” katanya. Pada 10 November 1945,
Surabaya kembali membara.
Peter A. Rohi, wartawan senior Surabaya
menceritakan, suasana ketika itu memang heroik. Penduduk yang secara
fisik bisa mengangkat bamboo runcing, melempar batu, menembakkan senjata
rampasan, tak sabar menyerang pasukan Inggris. Penduduk di kampung
Pandean, Peneleh dan Plampitan misalnya, langsung berhamburan sejak
seruan perlawanan itu digaungkan. Apalagi ketika mereka mendengarkan
pidato Bung Tomo yang menggelora melalui corong RRI.
Dalam pidato itu Bung Tomo menyerukan agar rakyat
Surabaya tidak menggubris ultimatum Inggris. "Tak heran bila pada
peristiwa 10 November 1945 banyak pemuda dari kampung-kampung itu ikut
terbunuh," kata Peter. Jalanan di sekitar Peneleh, Plampitan dan Pandean
penuh dengan mayat-mayat bergelimpangan.
Di medio yang sama, pertempuran juga
terjadi di Bandung, Solo, Semarang, Ambarawa dan Magelang. Begitu juga
di Bali dan Nusa Tenggara. Sebuah medio yang penuh gelora perlawanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar